Jakarta, (tvOne) Pernikahan dini mempengaruhi status gizi seorang ibu dan proses tumbuh kembang anak yang dilahirkannya akan memiliki tubuh pendek, demikian salah satu hasil penelitian dari Puslitbang Ekologi dan Status Kesehatan. "Pada anak perempuan yang bertubuh pendek, menikah di usia dini pda saat melahirkan bayi cenderung mempunyai berat badan lahir rendah," kata Tin Afifah, seorang peneliti dari Puslitbang Ekologi dan Status Kesehatan dalam konferensi tentang anak yang diselenggarakan Bappenas di Jakarta, Senin. Ia mengatakan apabila dalam masa tumbuh kembang, anak tidak dapat mengejar kebutuhan gizinya, maka anak akan menjadi generasi dengan tubuh pendek seperti ibunya. Dalam sebuah konferensi tentang anak, Afifah menjelaskan bahwa masalah pertumbuhan anak perempuan juga sangat terkait dengan masalah status gizi pada masa pubertas, sementara status gizi sebelum terjadinya konsepsi sangat berpengaruh pada status kesehatan bayi yang akan dilahirkannya. "Jika asupan gizi seorang anak perempuan memadai maka pertumbuhan organ tubuh dan fungsi reproduksi dapat berkembang dengan baik, hal itu akan mempengaruhi status kesehatan bayi yang akan dilahirkannya kelak," kata Tin Afifah. Lebih lanjut Tin mempaparkan bahwa sebuah riset di Irlandia yang melakukan penelitian pada remaja 14-17 tahun yang sudah hamil, menemukan bahwa para ibu remaja juga cenderung memiliki berat badan dibawah normal. See how much you can learn about mobil keluarga ideal terbaik indonesia when you take a little time to read a well-researched article? Don't miss out on the rest of this great information.
"Sekitar 21 persen dari mereka yang berusia 17 tahun cenderung melahirkan bayi prematur dalam kehamilan pertama, kemudian 93 persennya cenderung memiliki bayi kedua dengan jarak sangat dekat dari bayi pertama," paparnya. "Analisis data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2010 menunjukkan bahwa prevalensi anak pendek cenderung lebih tinggi pada ibu-ibu dengan tinggi badan rata-rata kurang dari 150 cm atau 46,7 persen dibanding ibu-ibu dengan tinggi badan rata-rata lebih dari 150 cm (34,8 persen)," tulisnya dalam riset itu. Data Riskesdas tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi anak pendek terjadi pada anak perempuan yang melakukan pernikahan dini. "Perlu adanya upaya komprehensif dan berbagai lintas program untuk pemberdayaan perempuan agar status perempuan lebih berdaya sehingga status kesehatan anak perempuan menjadi lebih baik," kata Tin. Konferensi mengenai penelitian tentang anak yang diselenggarakan oleh Bappenas serta didukung oleh LSM SMERU dan UNICEF tersebut diharapkan menjadi sebuah terobosan terhadap proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan yang berdasarkan data. "Penelitian yang efektif memiliki pengaruh penting terhadap pengambilan keputusan yang efektif, sehingga dasar yang kokoh menjadi suatu bagian penting dalam proses perencanaan masa depan yang baik bagi anak muda bangsa Indonesia," kata Wakil Perwakilan UNICEF Mercoluigi Corsi. Corsi menekankan pentingnya hubungan antara para peneliti, praktisi pembangunan, dan pembuat kebijakan yang bergulat di isu anak, sekaligus menumbuhkan budaya diskusi terhadap riset-riset yang terbaik tentang anak, sehingga konferensi tersebut akan membangun jaringan peneliti yang lebih luas. "UNICEF sebagai badan PBB yang menangani masalah anak, percaya bahwa pihaknya harus berperan untuk mendorong budaya penelitian yang relevan dan berkualitas oleh para peneliti muda maupun yang telah mapan, serta menyediakan kesempatan agar berbagai temuan dan rekomendasi terpaparkan kepada pembuat kebijakan dan praktisi," kata Corsi.
"Sekitar 21 persen dari mereka yang berusia 17 tahun cenderung melahirkan bayi prematur dalam kehamilan pertama, kemudian 93 persennya cenderung memiliki bayi kedua dengan jarak sangat dekat dari bayi pertama," paparnya. "Analisis data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2010 menunjukkan bahwa prevalensi anak pendek cenderung lebih tinggi pada ibu-ibu dengan tinggi badan rata-rata kurang dari 150 cm atau 46,7 persen dibanding ibu-ibu dengan tinggi badan rata-rata lebih dari 150 cm (34,8 persen)," tulisnya dalam riset itu. Data Riskesdas tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi anak pendek terjadi pada anak perempuan yang melakukan pernikahan dini. "Perlu adanya upaya komprehensif dan berbagai lintas program untuk pemberdayaan perempuan agar status perempuan lebih berdaya sehingga status kesehatan anak perempuan menjadi lebih baik," kata Tin. Konferensi mengenai penelitian tentang anak yang diselenggarakan oleh Bappenas serta didukung oleh LSM SMERU dan UNICEF tersebut diharapkan menjadi sebuah terobosan terhadap proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan yang berdasarkan data. "Penelitian yang efektif memiliki pengaruh penting terhadap pengambilan keputusan yang efektif, sehingga dasar yang kokoh menjadi suatu bagian penting dalam proses perencanaan masa depan yang baik bagi anak muda bangsa Indonesia," kata Wakil Perwakilan UNICEF Mercoluigi Corsi. Corsi menekankan pentingnya hubungan antara para peneliti, praktisi pembangunan, dan pembuat kebijakan yang bergulat di isu anak, sekaligus menumbuhkan budaya diskusi terhadap riset-riset yang terbaik tentang anak, sehingga konferensi tersebut akan membangun jaringan peneliti yang lebih luas. "UNICEF sebagai badan PBB yang menangani masalah anak, percaya bahwa pihaknya harus berperan untuk mendorong budaya penelitian yang relevan dan berkualitas oleh para peneliti muda maupun yang telah mapan, serta menyediakan kesempatan agar berbagai temuan dan rekomendasi terpaparkan kepada pembuat kebijakan dan praktisi," kata Corsi.
No comments:
Post a Comment